Anak Pinter yang Tiba Tiba Bodoh
Tahun
2007 kelulusanku saat di sekolah dasar. Aku mengincar SMP Favorit di kotaku
saat itu karena sekolah itu satu-satunya sekolah negeri yang punya program
akselerasi. Terdengar keren kayanya kalau ditanya sekolah dimana dan jawabnya
kelas aksel SMP X. Karena aku merasa tidak pernah ada masalah selama sekolah,
aku kira aku mampu. Tes masuk SMP X pun kujalani dengan lancar dan dari 500
lebih pendaftar, aku termasuk dalam 50 besar, aku cukup optimis.
Minggu pertama kujalani masa
orientasi, wah ternyata sekolah negeri itu semeja bisa duduk bertiga ya? Aku kira
itu hanya berlaku di SD SD negeri, aku yang dari Madrasah bersiswa sedikit ini
agak kaget merasakan atmosfer sekolah negeri ini. Aku kira sekolah favorit itu
kursi mejanya bagus bagus, ternyata tidak seperti bayanganku saat itu.
Seminggu berlalu, ada
pengumuman untuk seleksi masuk program akselerasi. Wah aku sudah percaya diri
untuk ikut seleksi, karena memang itu tujuannya aku masuk kesini. Dalam tesnya
ada tes akademik, psikotes, dan tes IQ. Cukup banyak teman teman yang ikut
seleksi, aku yang si sangat percaya diri ini menjalani tes yang kurasa cukup
baik pada saat itu.
Tiba saat pengumuman, kami
dikumpulkan di satu kelas dan diberi amplop, hasilnya lulus atau tidak lulus
dalam seleksi program akselerasi. Tapi saat sebelum amplop itu diberikan kepada
kami, Pak guru bilang "Jangan sedih untuk yang iqnya rendah, misal cuma
112, kalau kalian rajin pasti tetap bisa menjalani dengan baik. Begitu juga
yang IQnya 135+, kalau kalian malas pasti tidak akan baik hasilnya". Untuk
pertama kali aku merasa ada yang janggal, segitu pentingnya ya ternyata IQ
untuk tes ini? Emang IQ aku berapa? Ya ga jelek jelek amatlah pasti, kan aku
pinter kayanya.. Sebubarnya forum itu, aku buka amplopnya dan aku LULUS,
merinding rasanya. Aku bakal 2 tahun aja nih SMPnya, wiiih keren bgt kupikir
saat itu. Mana aku kelahiran 96 pula, (rata rata angkatanku kelahiran tahun 95) udah sekolahnya cepet, masuk Aksel pula,
yah keren bgt deh masih muda gitu pokonya. Terus aku buka lembar berikutnya,
ternyata itu hasil tes IQ yang kemarin dilakukan, dan IQ aku 112. Jadi Pak Guru
tadi ngomongin aku?? Jadi aku sebenernya ga pinter? Jadi aku harus rajin
belajar biar bisa bener sekolahnya? Langsung aku tanya ke temen" yang sama
sama lulus, ternyata rata" dari mereka iqnya 135+, ternyata bahkan ada yang
sudah persiapan tes IQ dulu dan hasilnya 139, 145 🤣🤣 itu jenius bro! Dan aku si 112 ini ternyata yang Pak Guru
tadi semangatin.
Oke, aku terima. Emang separah
apa sih efeknya si IQ rendah ini? Orang aku ga kenapa kenapa kok.
Sekolah dimulai.
Anak kelas 7 di sekolah kami
biasanya masuk jam 1 siang, tapi karena aku sudah masuk ke kelas Aksel, aku
sekolah pagi. Seneng rasanya, sekolah masih seger, kayanya bakal pinter gitu
kalo masuk pagi.
Hari pertama kami mulai dengan
perkenalan. Setiap siswa diminta untuk menyebutkan nama, asal sekolah, dan
pekerjaan orang tua. Ada yang janggal menurutku. Untuk apa tanya pekerjaan
orang tua??? Apa akan ada dampaknya dalam jalannya sekolah ini?
Saat perkenalan, teman"ku
menyebutkan profesi orang tuanya, ada dokter, ada pegawai BUMN, ada anggota
DPR, ada kepala Bank dan bahkan ada yang pegawai tambang diluar negeri. Tiba
giliranku, "Nama saya Dian Islami, asal sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Negeri, Ayah saya seorang Pensiunan dan Ibu saya seorang ibu rumah
tangga". Lalu Bu Guru pun bertanya, "Pensiunan apa?" kujawab
"PNS, Bu". Entah kenapa aku melihat raut yang agak ragu dan cemas
saat dia bertanya. Kemudian dia bertanya lagi, "Anak ke berapa?"
kujawab "anak ke-5 Bu". Dia pun lega dan melanjutkan "Oh berarti
kakaknya udah kerja ya bisa bantu". Aku mulai agak panik, ada apa
sebenarnya? Kenapa harus panik karena Ayah saya pensiunan? Kenapa kakak kakak
saya harus bantu?
Sebulan berjalan, ternyata di
program ini kerjanya ujian terus. Ada rapor bulanan dan kita diperingkat setiap
bulan, dan aku peringkat 27 dari 28 siswa 🤦
Hidupku dihabiskan dengan remedial remedial remedial, dan tiap semester program
Aksel ini memberlakukan sistem Drop Out. Duh mati aku!
Lupa karena bukan dari Sekolah Dasar favorit, ternyata aku cukup kaget berada di kelas ini. Semua orang panik
kalau nilainya 7 bahkan 6. Baru pertama kali aku melihat ada orang menangis
karena dapat nilai 7, dan aku yang sok empati ini bilang "jangan sedih,
nilai aku 6 kok" dan malah didamprat dengan jawaban "ya kamu sih
biasa dapet nilai segitu, aku ga pernah dapet nilai 7"
Astaga
Aku ada di sekolah macam apa
ini? Kenapa semua orang begitu obsess dengan nilai? Yang aku tau dari kecil,
berangkat sekolah itu buat ketemu teman teman, main dan seru seruan. Ternyata tidak
dengan kelas Aksel ini. Kami ga boleh ikut ekskul, kami sekolah dari pagi
sampai jam setengah 4 sore, disaat teman teman kami ada yang pulang jam 12 atau
baru masuk jam 1 siang.
Selain kenyataan ranking 27,
saat bayar SPP aku melihat kartu SPP teman", saat itu aku bayar SPP 250
ribu, menurutku itu cukup mahal karena kelas reguler saat itu sudah gratis.
Tapi, karena fasilitas yang didapat sangat baik seperti kelas berac, berkarpet,
round table, PC, sudah pakai whiteboard dan spidol, bukan lagi blackboard
dengan kapur, aku rasa ya SPP itu untuk membayar fasilitas. Ternyata
teman"ku bayar SPP 500ribu, bahkan ada yang 750ribu, seketika aku shock.
Jadi aku juga yang paling ga mampu nih ceritanya di kelas ini.
Baik, aku terima. It's okay.
Remedial dan remedial trus
kujalani sampai yang tadinya aku masih ikut basket pun jadi hanya belajar
belajar dan belajar. Guru guru sudah sentimen terus karena aku terus remedial,
bukan cuma satu guru yang bilang "duh Dian, kapan sih kamu ga her?"
mati mati mati, kenapa jadi begini sih sekolahnya, kesel bgt ga ada happy
happynya. Bulan ke 2 aku peringkat 21, naik tapi tetep 20an, kan siswanya 28 🥲
tetep aja ini ranking bontot. Bulan ketiga aku ranking 17, great! I was doing
in right path. Tapi label remedial terus ini agaknya cukup buruk, bahkan ada
teman" yang tidak mau duduk dekatl denganku karena aku tidak cukup pintar.
Ulangi. Bodoh.
Bulan ke 4, ujian semester. Di Aksel
itu 1 semester cuma 4 bulan, makanya 6 semester bisa ditempuh dengan 2 tahun. Kalau
kuingat lagi, mungkin karena aku mati matian belajar, aku agak stres, belajar
sampai sakit, alergi, batuk", tapi aku harus tetap ujian. Belum lagi
cibiran dari teman sekelas yang bilang "heran kok IQ 112 bisa lolos
seleksi sih, apa nyogok?". Duh bro jangankan nyogok, ini SPP aja yang
paling murah cuy.
Ujian pun kujalani dengan batuk
batuk sepanjang mengerjakan soal. Saat pengumuman, aku ranking 7. Wah aku masuk
10 besar, barulah pandangan "teman-teman yang nangis kalau dapat 7"
ini pun mulai berubah terhadapku. Aku dianggap anak yang cepat beradaptasi
karena setiap bulan memiliki progres yang signifikan.
Bulan ke 5, ayah dan ibuku
bilang "kita mau pindah ke Bandung" aku pun ditawari pilihan, mau
sekolah Aksel di Palembang atau reguler tetep 3 tahun tapi di Bandung. Karena
ruwetnya ternyata si Aksel ini, aku pun dengan cepat memilih, reguler di
Bandung. Aku sudah senaaaang sekali akan pindah. Hari hariku di sekolah
kujalani dengan santai karena aku tidak akan ujian mengerikan lagi setiap
Minggu. Dua orang teman dekatku Santy dan Muthia sampai traktir bakso dan
ajak main bowling karena katanya itung" farewell sama Dian. Malamnya aku
dipanggil ke kamar orang tuaku dan mereka bilang "kita ga jadi pindah,
terlalu banyak yang harus ditinggalin, kayanya ga mungkin"
Lah lah ini aku abis perpisahan
sama temen" masa ga jadi pindah.
Aku cuma nangis, ga bisa jawab.
Aku masuk kamar.
Mungkin mereka pikir aku sedih,
padahal aku malu 🤣🤣🤣
Besoknya aku tetap masuk
sekolah, yang tadinya di Minggu itu aku harusnya sudah pindah, tapi aku terus
masuk sekolah. Alhasil temen" pada tanya, "Dian jadi pindah?"
"Dian kapan berangkat?" dan aku senyam senyum bingung mau jawab apa,
masa bilang gajadi, dan aku jawab "iya masih ada yang diurus". Kukira
Jawaban itu cukup masuk akal, karena memang banyak yang harus diurus kan kalau
pindah gitu. 3 hari setelah itu ibu bilang "kita jadi pindah" dan
akupun merespon "bener ga? Ntar paling gajadi lagi" "ngga dek,
ini bener bener jadi, kita packing" ibuku bilang.
Karena aku sudah menurunkan
ekspektasiku serendah"nya, aku ga yakin ini pindah bakal jadi, akhirnya
aku ga bilang siapa-siapa kalau mau pindah. Daripada malu kan bilang bilang
tapi gajadi berangkat.
Ayahku mengurus semua
kepindahanku, yang ternyata agak repot ini. Aku pindah dari sekolah Aksel ke
reguler. Aku sudah semester 2 sedangkan kelas reguler belum selesai semester 1.
Aku senang karena berarti aku bisa libur 2 bulan untuk menyiapkan diri. Katanya
sekolah di Jawa lebih susah. Qadarullah kakakku yang nomor 4 ngajar privat di
Jakarta, trus dia ngecekin aku udah belajar sampai mana, dan semua yang dia
tanya belum aku pelajari. Dia bingung kenapa belum belajar? "Kan kamu Aksel?" Yah
libur 2 bulanku tidak bisa disiasiakan, aku harus belajar lagi. Jangan sampai
aku tertinggal, masa aku ketinggalan jauh sih, aneh banget.
Sambil pindahan, sambil
belajar.
Tiba di hari keberangkatan,
hari Kamis aku langsung tidak masuk. Santy dan Muthia pun SMS aku kenapa ga
masuk sekolah, kujawab "aku pindah, hari ini berangkat". Mereka kesal
dengan jawabanku, kenapa tiba tiba? Kenapa ga pamit dulu? Ya aku bilang aja
emang dadakan berangkatnya, padahal mah takut gajadi lagi 🤣
Beberapa teman ada yang sampai
telepon, sepertinya merasa bersalah karena selama sekolah mereka jahatin aku
dengan gamau duduk bareng, gamau sekelompok bareng dll. Tapi ya gapapa sih
wajar, aku ga begitu kenapa kenapa. Aku juga pasti pengen duduk sama yang
pinter dan bisa ngajarin kalo bisa.
Tapi itu kali pertama aku tau
bahwa hidup seaneh itu. Akan dianggap aneh kalau anak yang tidak beriq tinggi
lulus ujian seleksi. Akan dianggap aneh jika anak pensiunan bersekolah dengan
SPP mahal. Akan dianggap aneh jika ada orang tidak berambisi mendapat nilai
tinggi. Dan bisa-bisanya anak usia 11 12 tahun berpikir sejauh itu? Makan apa
mereka bisa mikir kaya gitu? Apa bapak ibunya tau mereka ngehina temennya kaya
gitu?
Bahkan ada seorang temanku yang
telepon dan minta maaf kalau dulu dia tidak dibolehkan oleh ibunya yang guru di
SMP itu juga untuk berteman denganku karena aku tidak pintar, aku ranking 27,
dia yang dulu teman sebangkuku jadi harus pindah tempat duduk mencari teman
yang lebih pintar. Dia merasa tidak enak karena kesannya sangat jahat padaku,
tapi karena yang melakukan itu bukan hanya satu orang jadi ya I'm okay with it.
Aku juga lagi fokus belajar kok karena kesel sama guru" yang terus
ngeledekin karena aku remedial terus. Bukannya dimotivasi malah dikatain, heran
sama guru kenapa bisa kaya gitu. Saat itu aku merasa hidupku lelah penuh
pembuktian ke guru guru itu, jadi pindah ke Bandung bagaikan angin segar
untukku.
Comments
Post a Comment